Dokdo
Surat Kepada Teman-Teman di Dunia – Mengapa Pulau Dokdo Adalah Sebuah Wilayah Milik Korea.Pulau Dokdo merupakan bagian penting dari wilayah Korea baik secara historis, geografis, serta di bawah hukum internasional. Berikut ini adalah alasannya.
Pulau Dokdo dapat dengan mudah kita lihat dari puncak Chorokbong Peak di Donghae, Provinsi Gangwondo, Korea, yang mana keberadaan pulau tersebut terlalu jauh untuk bisa terlihat dari Kepulauan Oki, wilayah terdekat Jepang dengan Pulau Dokdo. Tak ada satu pun, baik itu Pulau Dokdo maupun Pulau Ulleungdo yang bisa terlihat dari Prefektur Shimane di Jepang. Begitupun dengan arus lautnya, arus air laut yang bergerak di Laut Timur menjadikan kedua pulau ini milik Korea. Arus laut yang mengalir melalui Selat Korea ke Laut Timur mengalir ke arah utara. Arus yang mengalir dari selatan ke utara mengalir melalui Pulau Ulleungdo, berbelok ke kanan, dan bergerak ke selatan menuju Pulau Dokdo. Setelah mengalir melewati Pulau Dokdo, ia mengalir dari laut jauh di Pohang, bergerak menuju pantai barat Jepang, dan kemudian ke perairan utara lagi. Arus ini memudahkan kita untuk pergi dari Pulau Ulleungdo ke Pulau Dokdo, tetapi menjadi sulit apabila berlayar dari Kepulauan Oki ke Pulau Dokdo. Inilah alasan geografis mengapa Pulau Dokdo adalah milik Korea, bukan Jepang.
Kembali ke abad ke-17, pemerintah Dinasti Joseon dan Jepang pun juga berselisih mengenai hak atas Pulau Ulleungdo dan Pulau Dokdo. Yongbok An, seorang nelayan dari Dongnae (sekarang Busan) pergi ke Jepang dan menggugat nelayan Jepang karena melaut di pulau-pulau tersebut. Konflik antara nelayan Dongnae di Korea dan Prefektur Tottori di Jepang berkembang menjadi sengketa wilayah antara kedua negara. Kedua pemerintah kemudian memulai negosiasi melalui korespondensi diplomatik.
Sebagai reaksi dari kejadian tersebut, pemerintah Dinasti Joseon memberi tahu Jepang tentang kedaulatannya atas Pulau Ulleungdo. Pemerintah Jepang kemudian mengadakan penyelidikan, dan menyimpulkan bahwa kedua pulau itu bukan milik Jepang. Sebagai konsekuensinya, Jepang mengeluarkan perintah untuk melarang nelayannya pergi ke Pulau Ulleungdo, dan memberi tahu pemerintah Dinasti Joseon tentang keputusan ini. Dengan adanya keputusan ini, sebenarnya kedua pemerintah telah menyelesaikan sengketa teritorial atas Pulau Ulleungdo dan Pulau Dokdo. Kejadian ini terjadi pada tahun 1699. Dan selama 170 tahun berikutnya, kedua negara mempertahankan hubungan damai ini.
Jepang mengakui bahwa memang terjadi sengketa wilayah dan telah menyelesaikan antara kedua negara pada abad ke-17. Namun pemerintah Jepang berpendapat bahwa larangan itu terbatas pada perjalanan ke Pulau Ulleungdo, bukan ke Pulau Dokdo. Akan tetapi, seharusnya sengketa dan penyelesaiannya mencakup kedua pulau tersebut, bukan hanya terhadap satu pulau. Hal ini dikarenakan, bahwa tidak ada catatan mengenai pemerintah Jepang pernah mengizinkan kapal nelayannya pergi ke Pulau Dokdo untuk melaut. Kedua negara masing-masing memiliki dokumen yang menjelaskan proses dan hasil dari sengketa wilayah ini. Oleh karena itu, dengan alasan sejarah inilah, mengapa Pulau Dokdo ini adalah milik Korea, bukan Jepang.
Salah satu landasan hukum internasional yang mendukung kedaulatan Korea atas Pulau Dokdo adalah Instruksi Dajokan, tertanggal 29 Maret 1877. Dajokan atau Dewan Agung Negara adalah badan administratif Jepang tertinggi pada masa itu. Dua tahun sebelumnya, Jepang telah menandatangani Perjanjian Saint Petersburg dengan Rusia pada tahun 1875 untuk mendapatkan kendali atas Kepulauan Kuril atau empat pulau di wilayah utara Jepang, dengan imbalan kendali atas wilayah Sakhalin. Kemudian, pada tanggal 29 Maret 1877, Dajokan mengeluarkan arahan atau instruksi yang menjelaskan bahwa Jepang tidak ada hubungan apapun dengan Pulau Ulleungdo dan pulau lain (Pulau Dokdo). Arahan ini adalah sebagai penegasan untuk penentuan perbatasan antara Jepang dan Dinasti Joseon, setelah adanya perjanjian antara Jepang dengan Rusia. Pada tahun 1879, Pemerintah Jepang mencaplok wilayah Kerajaan Ryukyu ke Prefektur Okinawa. Serangkaian tindakan ini menunjukkan bahwa Pemerintah Jepang bermaksud untuk menjaga hubungan damai dengan Rusia dan Dinasti Joseon. Dokumen-dokumen resmi yang ditinjau oleh pejabat Jepang sebelum dikeluarkannya arahan tersebut masih ada. Pada dokumen tersebut merinci proses dan hasil sengketa wilayah atas penyelesaian di daerah Ulleungdo dan Dokdo antara Korea dan Jepang. Bahkan di salah satu dokumen ada laporan penguasa dari Prefektur Tottori yang menyatakan kedua pulau itu bukan milik prefekturnya.
Jepang menamai Pulau Dokdo dengan nama “Matshusima” dan secara sepihak memasukkannya ke dalam Prefektur Shimane, yang merupakan dasar hukum untuk klaim kedaulatannya atas Pulau Dokdo. Orang Jepang sendiri menyebut Pulau Ulleungdo dengan “Takeshima” dan Pulau Dokdo dengan “Matsushima” dari abad ke-14. Pemerintah Prefektur Shimane sendiri tidak membedakan penamaan Pulau Ulleungdo dan Pulau Dokdo karena penduduknya belum pernah ke pulau-pulau tersebut.
Setelah memeriksa peristiwa sejarah sekitar tahun 1905, semuanya menjadi jelas bahwa dasar klaim Jepang atas kedua wilayah tersebut hanya berdasarkan pada saat mereka menjajah Korea. Setelah menandatangani perjanjian dengan Rusia pada tahun 1875 untuk menentukan perbatasan mereka, Jepang menandatangani Perjanjian Ganghwa dengan Dinasti Joseon pada tahun 1876. Isi dari Perjanjian Ganghwa juga memasukkan ayat untuk saling menghormati kedaulatan dan integritas teritorial antar negara. Namun hal ini tidak bertahan lama, janji atas saling menghormati kedaulatan dan integritas teritorial antar negara ini pudar seiring dengan invasi pertama dari Jepang. Perang Tiongkok-Jepang Pertama (The First Sino-Japanese War) pada tahun 1895 membuat dunia sadar akan invasi imperialis Jepang. Setelah kemenangan dalam invasi tersebut, Jepang kemudian mengambil alih Taiwan dari Tiongkok. Tidak berselang lama, sekitar sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1904, Jepang melanggar perjanjian dengan Rusia dan saling berperang. Pada tahun 1905, selama Perang Rusia-Jepang, Jepang berusaha untuk mencaplok wilayah Pulau Dokdo untuk kemudian membangun menara pengawas di Pulau Dokdo dan dengan tujuan untuk mengamati armada laut Rusia.
Setelah kemenangannya dalam Perang Rusia-Jepang (The Russo-Japanese War), Jepang kemudian merebut Pulau Sakhalin dari Rusia dengan menandatangani Perjanjian Portsmouth pada tanggal 5 September 1905. Akhir dari era imperialisme Jepang sendiri terjadi ketika, pihak Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan Perang Dunia II akhirnya berakhir pada tahun 1945. Setelah pihak Jepang menyerah, sebagai upaya untuk menormalkan hubungan internasional, Jepang menandatangani Perjanjian Damai San Fransisco (San Francisco Peace Treaty) pada 8 September 1951. Jepang sendiri memiliki masalah sengketa wilayah dengan Rusia. Pihak Jepang mengklaim hanya sebanyak empat pulau di rantai Kepulauan Kuril di lepas pantai Hokkaido, dan tidak termasuk wilayah yang diambil alih dari Rusia, yaitu Pulau Sakhalin, setelah kemenangannya dalam Perang Rusia-Jepang. Hal ini terjadi karena menurut hukum internasional, sulit untuk mempertahankan legitimasi perjanjian yang dihasilkan dari perang imperialis.
Dari awal berdirinya pemerintahan pada tahun 1392, Dinasti Joseon bertahan selama 500 tahun. Pada akhir abad ke-19, Dinasti Joseon mengubah namanya menjadi Kekaisaran Korea dan berusaha untuk mengikuti perubahan lingkungan internasional yang berubah dengan cepat. Kaisar Gwangmu, kaisar pertama dari Kekaisaran Korea, berusaha keras untuk melindungi seluruh wilayah kekuasaannya. Dirinya menyatakan bahwa Pulau Dokdo adalah milik Korea dengan mengeluarkan Keputusan Kekaisaran Nomor 41 pada 25 Oktober 1900. Hal ini terjadi lima tahun sebelum upaya pencaplokan (aneksasi) dari Jepang. Keputusan Kekaisaran tersebut adalah alasan dasar hukum mengapa Pulau Dokdo milik Korea, bukan Jepang, sesuai dengan ketentuan hukum di bawah hukum internasional.
Pada tanggal 12 Desember 1948, pada saat Sidang Umum PBB, pada sesi ketiganya mengakui bahwa Republik Korea sebagai pemilik yang sah dari wilayah tersebut. Pulau Dokdo berada di bawah kedaulatan Korea. Jika Jepang merasa memiliki hak atas Pulau Dokdo, tentunya Jepang akan mengajukan keberatan kepada PBB pada saat itu. Sebelum PBB mengakui Republik Korea, Panglima Tertinggi Sekutu (Supreme Commander for the Allied Powers/SCAP), Jenderal Douglas McArthur, telah mengeluarkan Instruksi SCAP (SCAP Index Number) 677 yang menyatakan, telah melarang Jepang untuk menggunakan kekuasaan apa pun atas Pulau Dokdo. Di bawah payung hukum internasional, Instruksi SCAP ini adalah alasan hukum berikutnya yang menyatakan Korea adalah pemilik Pulau Dokdo dan bukan Jepang,.
Pemerintah Jepang menggunakan Perjanjian Perdamaian San Francisco sebagai dasar klaimnya atas Dokdo. Dengan melihat kembali sejarah dari abad yang lalu, hal tersebut adalah kemungkinan yang tidak masuk akal. Invasi awal Jepang kepada negara-negara tetangganya dimulai dengan pencaplokan wilayah Kerajaan Ryukyu pada tahun 1879. Sejak saat itu, Jepang mengobarkan perang demi perang, termasuk Perang Tiongkok-Jepang pada tahun 1895, Perang Rusia-Jepang pada tahun 1905, Invasi Jepang ke Manchuria pada tahun 1931, dan Perang Pasifik pada tahun 1941. Invasi Jepang akhirnya berakhir, setelah Kaisar Jepang mengeluarkan deklarasi yang menyatakan bahwa mereka menyerah kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Setelah Jepang menyatakan menyerah, sebagian besar wilayah yang diambil paksa oleh Jepang, dikembalikan lagi kepada pemerintahan negara masing-masing.
Tidak terkecuali dengan Pulau Dokdo. Dengan pernyataan penyerahan tanpa syarat dari pihak Jepang, Pulau Dokdo dikembalikan ke Korea. Sejak saat itu, Korea telah menjalankan kedaulatannya yang sah atas Pulau Dokdo. Dalam Pasal 2 Perjanjian Perdamaian San Francisco menyatakan bahwa, “Jepang, mengakui kemerdekaan Korea, melepaskan semua hak, kepemilikan, dan klaim atas Korea, termasuk pulau Quelpart (Jejudo), Port Hamilton (Geomundo) dan Dagelet (Ulleungdo).”
Ada banyak dokumen yang membuktikan kedaulatan Korea atas Dokdo, diantaranya adalah Instruksi Dajokan 1877, Deklarasi Kairo, Deklarasi Potsdam, proklamasi penyerahan tanpa syarat Kaisar Jepang, SCAPIN 677, dan Perjanjian Perdamaian San Francisco. Klaim Jepang atas Pulau Dokdo adalah pengingkaran pada pernyataan penyerahan tanpa syarat dalam Perang Dunia II, Perjanjian Perdamaian San Francisco, dan bahkan kemerdekaan penuh Korea.
Sebagai negara tetangga, seharusnya Korea dan Jepang membangun hubungan damai dan bekerja sama untuk perdamaian dunia. Untuk mewujudkan hal itu, pihak Jepang harus berhenti membuat klaim atas kepemilikan Pulau Dokdo. Secara historis, geografis, dan di bawah hukum internasional, Pulau Dokdo secara sah adalah wilayah milik Korea.